Senyum Kakek Maruyama
Sebenarnya cerpen ini kubuat untuk tugas sekolah. Tapi ummi
menyarankan agar cerpennya dimasukkan ke blog saja. Untung juga sih,
karena dari sekin lama aku 'offline' dari blog, akhirnya aku bisa
menerbitkan post baru.. Hahaha.. Oke! Happy reading guys! :D
Tik tok.. Tik tok.. Tik tok..
Kriiing! Kriiiing!
“Suara berisik apa itu?” batinku.
Aku pun terbangun dari tidurku
yang bisa dibilang cukup nyenyak. Sakit rasanya seluruh badanku akibat
perjalanan naik pesawat selama 8 jam kemarin. O iya, aku belum memperkenalkan
diriku. Namaku Bunga, seorang gadis berumur 13 tahun. Hari ini, adalah hari
pertamaku bersekolah di Jepang. Aku pindah ke negara sakura karena mengikuti ayahku
yang mendapat beasiswa S2 di Universitas Kyoto.
“Bunga, ayo segera bersiap..”
ucap ibuku dari luar kamar.
Jam berapa sekarang? Oh sudah
pukul 06. 30, saatnya bersiap memulai hari pertama sekolahku di Jepang. Aku pun
segera turun dari tempat tidur dan segera mandi. Sarapan pagi dan menyiapkan
buku adalah kegiatanku setelah mandi.
“Bagaimana perasaanmu ?” tanya
ayah memulai percakapan.
“Cukup membuat jantungku berdetak
lebih cepat, ayah.” jawabku.
Selesai sarapan aku langsung
berangkat bersama ayah. Saat berjalan melewati rumah di depan apartemen
tempatku tinggal, aku lihat ada seorang kakek yang sedang duduk-duduk di teras
rumahnya, dan tersenyum kepadaku. Aku heran mengapa ia tersenyum, padahal aku
belum kenal dengannya. Aku pun hanya bisa membalas senyumannya
Ayah mengantarku sampai ke depan
sekolah. Tanpa sadar aku menarik nafas dalam-dalam sebelum memasuki gerbang.
Aku pun segera mengganti sepatuku dengan wabaki
, yaitu sepasang sandal khusus dalam ruangan sekolah.
“Bismillah, semoga hari ini menjadi awal yang
baik bagiku”, do’aku dalam hati.
“Minna, Ohayou… (selamat pagi semua)” suara Satake Sensei, wali kelasku memecah keheningan kelas.
Kelas pun dimulai dengan
perkenalan diri masing-masing siswa.
Akhirnya tiba giliranku unt uk
memperkenalkan diri. Aku mencoba mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa
Jepang yang sebelumnya telah diajarkan oleh orang tuaku.
“Hajimemashite. Watashi wa Bunga desu. Indonesia kara desu. Yoroshiku
onegai shimasu.” (Perkenalkan. Namaku Bunga dari Indonesia. Mohon diingat
ya…).
Aku lihat banyak teman sekelasku
tertawa kecil dan berbisik saat aku memperkenalkan diri. Apa aku mengucapkan kata
yang salah? Apa penampilanku aneh? Aku tidak tahu, yang jelas aku sudah
berusaha memperkenalkan diri sebaik mungkin.
Kelas ditutup dengan pelajaran
bahasa Jepang yang tidak aku mengerti sama sekali. Karena jarak antara sekolah
dan apartemen kami cukup dekat, maka aku
pulang dengan berjalan kaki.
Ternyata nama keluarga kakek yang
tersenyum kepadaku tadi pagi adalah
Maruyama. Aku tahu setelah melihat papan nama di pagar rumahnya. Beruntung ada tulisan
huruf romawi di bawah huruf kanji yang melambangkan nama keluarganya. Sore itu,
aku lihat kakek Maruyama tersenyum lagi padaku saat ia berkebun. Lagi-lagi aku
pun hanya bisa membalas senyuman itu.
Keesokan harinya, dalam
perjalanan ke sekolah, kembali kulihat kakek Maruyama yang sedang menyeruput
tehnya dan tersenyum kepadaku. Entah mengapa aku merasa senyuman ramahnya
membuatku bersemangat. Seolah-olah memintaku untuk tidak patah semangat dalam
menghadapi hari-hari baruku di sekolah.
Aku berjalan memasuki kelas,
rupanya baru ada 5 orang murid yang datang. Saat sedang menunggu bel masuk, aku mencoba
mengajak beberapa teman untuk berbincang, sepatah dua kata dalam bahasa Jepang,
bercampur dengan bahasa Inggris dan bahasa tangan alias isyarat….(he he). Aku
ingin beramah tamah dengan teman-teman baruku.
Tapi apa yang kudapat ? Lawan
bicaraku hanya diam seolah tidak peduli. Begitu juga esok harinya. Beberapa ada
yang menunduk malu-malu. Wah, aku jadi merasa canggung dan terasingkan. Masa
iya sih, satu-satunya orang yang mau berinteraksi denganku hanya wali kelasku
?!. Kan nggak asyik !. Jadi lega rasanya ketika mendengar bel pulang.
Entah mengapa setiap aku
berangkat dan pulang sekolah, kakek Maruyama berada di depan teras rumahnya.
Seperti menungguku, tapi kan tidak mungkin. Sebenarnya sih, aku ingin
sekali-kali menyapanya dengan ucapan “selamat pagi”, namun selalu ragu. Jadi begitulah
hampir setiap hari kami hanya saling bertukar senyum, meski terkadang kakek
Maruyama menambahkan dengan mengepalkan tangan kanannya ke atas sebagai ajakan
untuk selalu bersemangat.
Hari berganti minggu dan minggu
berganti bulan. Akhirnya setelah lebih dari sebulan sejak pertama aku
bersekolah, lambat laun ada dua teman yang mau sedikit-sedikit berbicara
denganku. Meskipun kami bertiga berkomunikasi dalam bahasa campur aduk dan
bahasa isyarat, aku cukup senang karena mengurangi perasaan terasingku.
Belakangan baru kutahu bahwa memang umumnya orang Jepang bersifat lebih pemalu
dan tertutup pada orang asing. Pantas saja, butuh waktu agak lama bagiku untuk
mendapat teman.
Banyak kosa kata bahasa Jepang
yang langsung kupelajari dari mereka berdua, terutama yang menyangkut kehidupan
dan tugas-tugas sekolah. Namun bukan berarti kesulitanku dalam beradaptasi berakhir
begitu saja. Ada saja kejutan-kejutan budaya dan bahasa yang kutemui setiap
harinya.
Beberapa teman perempuan masih
ada yang tertawa dan berbisik-bisik saat kami bersama berganti baju untuk kelas
olahraga. Kulit Indonesia asliku yang kecoklatan mungkin menjadi keanehan bagi mereka. Belum lagi ketika aku
memakai celana panjang di balik celana pendek seragam olahragaku.
“Doushite (mengapa) ?” satu temanku bertanya seraya menunjuk celana
panjangku.
“Samui (dingin)“, jawabku asal. Bagaimana ya, caranya menjelaskan
bahwa aku merasa risih memakai celana pendek setengah paha. ( Di luar rumah dan
dilihat teman-teman lelaki pula !).
“Eee (hahhh) ?“ terlihat dia keheranan dengan jawabanku. Uups…aku
lupa kalau saat itu akhir musim semi yang berarti bagi orang Jepang suhu udara
cukup hangat. Ya sudahlah…
Dan banyak lagi kendala-kendala yang
membutuhkan kesabaranku. “Tetap semangat ya Bunga…”, begitu selalu kataku dalam
hati. Terbayang olehku juga senyum
penyemangat tetanggaku kakek Maruyama.
Suatu hari tidak seperti biasanya,
aku tak melihat Kakek Maruyama di teras rumahnya. Aku dengar dari ibuku, Kakek
Maruyama sedang sakit dan harus pindah ke rumah anaknya di daerah Tokyo. Entah
kenapa, aku merasa sangat kehilangan. Rasanya tak lengkap hariku tanpa melihat
senyum ramahnya.
Dua bulan berlalu, tiba-tiba
datang sepucuk surat untukku. Ternyata dari istri Kakek Maruyama. Aku meminta
ayahku menterjemahkannya untukku. Ternyata dalam masa sakitnya, Kakek Maruyama
tetap teringat padaku. Dia berharap aku baik-baik saja dan bisa cepat beradaptasi
di sekolah dan lingkungan baruku. Dia mengerti kesulitan yang kuhadapi karena
dia mempunyai cucu yang bersekolah di negara Timur Tengah. Cucunya sering
bercerita tentang kesulitan-kesulitannya beradaptasi di negara baru. Melihatku
berangkat dan pulang sekolah mengingatkannya pada cucu kesayangannya itu.
Itulah sebabnya ia sengaja duduk di teras saat aku berangkat dan pulang
sekolah.
Aku terharu, tak kusangka Kakek Maruyama sangat
peduli padaku. Ternyata benar, senyum itu berarti banyak hal. Bagiku, senyum Kakek
Maruyama adalah tanda peduli. Senyum itu tanda persahabatan. Senyum itu
penyemangat hari-hariku. Bukankah dalam ajaran agama Islam disebutkan bahwa
sedekah paling sederhana adalah senyuman yang tulus ?!. Dan seorang kakek yang
bahkan belum pernah berbicara denganku telah melakukannya untukku.
“Maruyama
ojiisan, o daiji ni…
(cepat sembuh ya kakek)”, doaku dalam hati. Aku sangat berharap suatu hari
nanti akan bertemu kembali dengannya. Aku ingin bisa menyapanya meski dengan
bahasa Jepangku yang seadanya.
Comments